PENDAHULUAN
Berbagai Penyakit akhir Hubungan Seksual (PHS) selain yang disebabkan oleh kuman, klamidia, virus dari mikoplasma juga mungkin disebabkan oleh jamur, protozoa dan benalu antara lain kandidiasis, trikomoniasis, giardiasis. amebiasis, kudis, kutu pubis. Diagnosis PHS yang tepat dan pasti sangat penting alasannya memiliki konotasi sosial dan biasanya diperoleh lewat pemeriksaan mikroskopik, perbenihan bakteriologis atau virologis. Sedangkan penatalaksanaan PHS tergantung pada infeksi masing-masing individu. tetapi secara biasa apabila PHS sendiri tidak / kurang serius mirip trikomoniasis atau ektoparasit maka tidak perlu pengamatan pasangan seksual walaupun mesti diobati juga alasannya hampir niscaya dia juga terinfeksi. Sebagian besar PHS lain demikian berat (dalam kasus gonore resisten kepada antibiotika ialah problem) sehingga semua kontak seksual harus ditelusuri dan diobati, terutama pada gonore, sifilis dan AIDS.
Ulkus pada alat kelamin mungkin menular mungkin juga tidak. Tanpa investigasi laboratorium ada kemungkinan mengalami ulkus genital :
1) Bila ulkus berbentuklesi vesikular dan terjadi abrasi permukaan, penatalaksanaan selaku herpes genitalis dan diobati; sehabis 7 hati tidak sembuh selaku chancroid.
2) Bila ulkus tidak supuratif, tidak sakit bila ditekan, penatalaksanaan selaku sifilis dan diobati, jikalau tidak sembuh dirujuk ke RS.
3) Untuk ulkus lain (nyeri tekan, mudah berdarah dan tidak keras, banyak dengan / tanpa pembengkakan kelenjar) diobati dengan kontrimoksazol selama 7 hari dan jika tidak sembuh penatalaksanaan selaku sifilis.
Lesi genital akhir penyakit non-venerik meliputi aneka macam kelainan yang sering menimbulkan dilema diagnosis dan beberapa di antaranya mungkin ditularkan melalui relasi seksual serta mampu dikelompokkan sebagai berikut :
1) Infeksi kulit, misal papiloma, moluskum-kontagiosum, hypes simpleks.
2) Dermatosis, misal psoriasis, lichen planus, pityriasis.
3) Lesi dan ulcer non-bengkak, misal eritroplasia, balanitis xerotica obliterans, ulcus vulvae acutum, sindroma Steven Johnson.
4) Neoplasia.
KANDIDIASIS
Infeksi jamur mampu dibagi menjadi nanah superfisial dan dalam. Di antara infeksi superfisial yang sering ditularkan lewat relasi seksual adalah jerawat olah Candida spp., sedangkan nanah dalam mungkin disebabkan oleh keganasan jamur sendiri atau alasannya adalah penurunan resistensi tuan rumah utamanya pada gangguan kekebalan tubuh. Timbulnya infeksi oleh jamur oportunistik kian berkembangantara lain akhir penggunaan luas antibiotika spektrum lebar dan imunosupresiva,. kemajuan dalam bedah transplantasi dan katup jantung, kenaikan penggunaan cannulae iv jangka panjang khususnya untuk nutrisi parenteral.
Adanya organisme yang termasuk genus Candida dalam / pada badan diketahui selaku kandidiasis atau kandidosis dipakai untuk menawarkan status nonpatogenik atau komensal. Tempat yang paling biasa terdapat Candida spp. ialah ekspresi, terusan anorektal, akses kelamin dan kuku (dalam lingkungan terbatas). Cara penularan terutama yaitu kontak pribadi orang ke orang, terutama tinggi pada golongan aktif, seksual.
Sumber bisul antara lain susukan pencernaan, kambuhan, atau transmisi seksual. Sekitar 20% laki-laki pasangan dari wanita dengan kandidiasis vagina kambuhan memberikan kolonisasi kandida pada penis, khususnya pada laki-laki tidak dikhitan pada kawasan sulcus corona (umumnya asimtomatik); 4 x lebih banyak pada laki-laki pasangan wanita yang terinfeksi dibandingkan dengan pria pasangan wanita yang bebas infeksi. Sebenarnya perempuan mempunyai prosedur pertahanan alami vagina, antara lain metode humoral, fagositosis, imunitas yang dimediasi sel, dan yang penting flora vagina ialah lewat prosedur kompetisi untuk nutrisi dan bakteriosin yang menghalangi pertumbuhan dan germinasi ragi.
Infeksi jamur ialah jerawat yang paling utama dari nanah vagina dan C. alhirans ialah penyebab utama kandidiasis genital di samping T. glabrata. Kandidiasis vulvovagina (VVC) atau vaginitis kandida terutama di kawasan tropis dan subtropis sungguh lazim. Hampir 85-90% jamur yang terdapat pada vagina yakni strain Candida albicans dan Torulopsis glabrata. Organisme kandida bersifat di morfi dan terdapat pada insan dalam berbagai fasa fenotip. Untuk kolonisasi Candida spp. pada epitel vagina, mula-mula mesti melekat pada sel epitel dan sumbernya utamanya berasal dari kawasan perianal. Vaginitis kandida khususnya menonjol pada perempuan usia subur khususnya pada status sosioekonomi rendah dan selama kehamilan. Kolonisasi mungkin simtomatik/ asimtomatik yang lazimnya diputuskan oleh perubahan lingkungan vagina yang menginduksi imbas patologis.
Faktor-aspek predeposisi
Kehamilan : selama kehamilan vagina memberikan peningkatan kerentanan kepada infeksi Candida spp. sehingga prevalensi kolonisasi vagina dan vaginitis simptomatik meningkat, utamanya dalam trimester ketiga. Diduga estrogen meningkatkan perlekatan Candida spp. pada sel epitel vagina dan secara langsung memajukan virulensi ragi:
Kontrasepsi oral : utamanya pada kadar estrogen tinggi.
Diabetes mellitus : frekuensi kolonisasi lebih tinggi (merupakan faktor predeposisi bila tidak dikelola).
Antibiotika : timbulnya VVC simptomatik sering terjadi selama pemakaian antibiotika oral sistemik terutama dengan spektrum lebar seperti tetrasiklim, ampisilin dan sefalosporin sebab eliminasi flora bakteri vagina yang bersifat protektif seperti laktobasilus.
Lainnya: busana yang ketat rapat dengan celana dalam nilon meningkatkan kelembaban dan suhu kawasan perineal sehingga peristiwa VVC meningkat.
Manifestasi klinis
Pruritus dan duh vagina ialah unek-unek lazim namun tidak spesifik VVC. Nyeri vagina, iritasi, rasa terbakar, dyspareunia dan dysuria eksternal juga sering menyertai, amis sedikit dan tidak menonjol, eritema dan jerawat labia serta vulva. Yang khas yakni bahwa gejala meningkat seminggu sebelum menstruasi dan sedikit menurun dengan mulainya haid walaupun adakala Candida spp. menyebabkan balanophositis pada pasangan wanita dengan kandidiasis, yang lebih sering terjadi yakni ruam sementara, eritema dan pruritus atau sensasi terbakar pada penis yang timbul dalam beberapa menit/jam sehabis korelasi seksual.
Kelangkaan relatif spesifisitas simptom dan gejala menyebabkan diagnosis didasarkan pada sejarah dan investigasi fisik semata. Kebanyakan penderita vaginitis simptomatik dengan secepatnya didiagnosis berdasarkan observasi rnikroskopik dasar sederhana terhadap sekresi vagina dan penentuan pH.
Penatalaksanaan
Kandidiasis mungkin merupakan penyakit yang tidak ditularkan melalui kekerabatan seksual dari perempuan, tetapi 20% wanita dengan VVC pasangan prianya memiliki koloni Candida spp. pada penis dengan/tanpa tanda-tanda. Bila ada gejala, pada perempuan umumnya alasannya faktor disposisi mirip hamil, penggunaan antibiotika, diabetes, imunosupresi atau penggunaan kontrasepsi oral. Diagnosis melalui investigasi sekresi vagina atau biakan.
• Vaginitis akut: pada umumnya penatalaksanaan kolonisasi vagina tanpa tanda-tanda dan penatalaksanaan akut sama dengan kambuhan/kronis, hanya berbeda dalam hal lama terapi. Tetapi VVC simptomatik selain dengan turunan imidazol yang bekerja pada membran sel jamur dapat juga dengan poliena seperti nistatin dan amfoterisin B yang berikatan pada kawasan sterol pada membran sitoplasma sel jamur sehingga mengganggu permeabilitasnya. Bahan lain yang berguna antara lain asam borat, povidoniodin, K sorbat dan asam propionat bentuk sediaan bisa topikal atau sistemik per oral. Pada kehamilan vaginitis akut lazimnya dapat dituntaskan dengan antijamur topikal namun dengar jangka waktu pemakaian lebih lama (1-2 minggu).
• VVC kronis dan kambuhan : batas-batas kambuhan adalah paling sedikit ada 4 episoda mikrologis simptomatik yang terbukti dalam 12 bulan terakhir di luar patogen vagina lain yang umum. Langkah pertama yang harus diambil adalah kenali dan eliminasi alasannya adalah-alasannya yang mendasar, contohnya diabetes yang tidak diatur, pemakaian kortikosteroid atau imunoupresivi lain serta hormon. Pengobatan lazimnya menurut diagnosis sendiri dengan terapi topikal, preskripsi bisa diulang dan dimulai lagi dengan adanya gejala-gejala kambuhan, misal kotrimazo 500 mg dosis tunggal. Beberapa studi memberikan bahwa terapi profilaksis jangka panjang menghemat secara mempunyai arti frekuensi episoda VVC simptomatik, contohnya dengan ketokonazol 100 mg sehari selama 6 bulan (perlu usulankemungkinan toksisitas jangka panjang). Cara lain yang banyak dipakai untuk menghalangi kambuhan yakni menyertakan nistatin dalam terapi dengan tujuan meminimalisir risiko reinfeksi vagina dari reservoir intestinal persisten. Suatu pilihan pendekatan pemeliharaan jangka panjang terapi antikandida untuk VVC kambuhan adalah penggunaan hiposensitisasi dengan sebuah antigen.
Antijamur profilaktik tidak direkomendasikan rutin untuk menyertai terapi antibiotika pada wanita, namun pada wanita dengan VVC kambuhan yang dikenali bahwa antimikroba merupakan aspek penyebab yang tidak dapat dikesampingkan maka penggunaan antijamur topikal berbarengan dapat dibenarkan (non-oral). Dalam penanganan VVC kambuhan/kronis perlu ditekankan pentingnya perlindungan, kepercayaan dan konsultasi, alasannya vaginitis kronis mengakibatkan dyspareunia kronis dengan gangguan hubungan seksual atau perkawinan yang mungkin menjadi permanen dan tidak mampu diperbaiki lagi.
PROTOZOA
T. Vaginalis
Trikomoniasis, sebuah bisul oleh protozoa berflagela : T. vaginalis, ialah jerawat PHS yang umum. Diketahui semenjak 1836, tetapi dianggap selaku organisme komensal dan gres dimengerti sebagai patogen pada pertengahan kala ke-20. Terapi tidak mencukupi hingga ditemukannya metronidazol tahun 60-an dan kemudian turunan 5-nitroimidazol lainnya yang dimengerti efektif sistemik. T. vaginalis melekat pada membran mukosa, bersifat anaerob, berbiak dengan fisi biner dan terdapat selaku sel vegetatif belaka. Prevalensi pada golongan tertentu berafiliasi dengan ambang aktivitas seksual dan juga dipengaruhi oleh metoda kontrasepsi, utamanya metoda barier dan kontrasepsi oral. Infeksi kadang-kadang bersamaan dengan gonore, penularan non-seksual yang terbanyak adalah perinatal. Virulensi, organisme, kepekaan dan reaktivitas tuan rumah, pola epidemiologis seperti jerawat adonan memilih tingkat kesungguhan klinik. Pada wanita dengan trikomoniasis organisme mampu diisolasi dari vagina pada 95% bengkak dan dari saluran urine 5%, sedangkan pada laki-laki tempat bengkak yang biasa justru uretra.
Infeksi pada wanita bervariasi dari karier asimptomatik hingga ke jerawat akut yang berat. Lingkungan vagina mempengaruhi patogenitas trikomonas dan bermacam-macam dari waktu ke waktu pada orang yang sama (contohnya haid, pH, potensial redoks, ambang, hormon atau mikroba lain), sedangkan pada laki-laki lazimnya asimptomatik. Infeksi pada perempuan umumnya menimbulkan respons inflamasi akut dengan duh vagina yang mengandung sejumlah besar neutrofil polimorfonuklir (PMN). Infeksi berulang biasa , namun tak menyebabkan kekebalan yang secara klinis memiliki arti. Pada pria sebagian kecil menjadikan NGU (uretritis non gonore) di samping C. trachomatis atau U. urealyticum. Dibandingkan dengan PHS lain, tidak ada komplikasi lanjut, lagi pula efeknya kecil pada kehamilan.
Diagnosis klinis menurut tanda dan tanda-tanda pada perempuan maupun pria tidak cukup; dibutuhkan deteksi parasit dengan cara mikroskopik pribadi atau perbenihan. Trikomoniasis pada pria mustahil dibedakan secara klinis dengan NGU oleh sebab lain, tetapi respons pengobatan mungkin memperlihatkan isyarat . NGU yang tidak memberikan respons terhadap terapi standard untuk klamidia dan ureaplasma mungkin memberikan trikomoniasis. Pengobatan yang efektif dengan metronidazol yang pertama kali digunakan tahun 1959 untuk penatalaksanaan infeksi protozoa dan turunan 5-nitroimidazol lain seperti tinidazol. ordinazol (MIC < 1 ug/ml).
Protozoa intestinal : G. lamblia, E. histolytica, Cryptosporidium sp
Protozoa patogen enterik sering menjadikan diare dan kadang ditularkan lewat relasi seksual fekal-oral. Giardia lamblia mungkin pertama kali didapatkan tahun 1681 oleh A. van Leeuwenhoek, namun gres tahun 1859 ditandai oleh v.d.F. Lambl dengan nama Arromonas intestinalis dan oleh Kunstler tahun 1882 dengan nama Giardia lamblia. Pada daerah endemi sebagian besar nanah asimptomatik, tetapi bagian yang mempunyai arti dari penduduk dan pengelana yang sebelumnya tidak terinfeksi bersifat simptomatik dengan gejala diare lebih usang dari 10 hari, nyeri kaku abdomen atas, flatulensi dan penurunan bobot tubuh. Masa inkubasi 1-8 ahad dan tanda-tanda sering mendahului deteksi adanya benalu dalam kotoran. Diagnosis dilakukan lewat spesimen segar atau dipekatkan dari kotoran pada kasus diare di luar masa prepatensi 5-7 hari.
Entainoeba histolytica pertama kali digambarkan oleh Loesch tahun 1875 dan baru dinamakan tahun 1903 oleh Fritz Schaudinn sebagai E. histolytica alasannya adalah kapasitasnya merusak jaringan. Manifestasi klinis bervariasi dari ekskresi kista asimptomatik hingga rectocolitis akut, penyakit intestinal nondisentri kronis, ameboma atau megacolon toksis.
Dalam siklus kehidupan E. histolytica, kista merupakan bentuk infektif alasannya dapat hidup di luar tuan rumah sampai berbulan-bulan dalam lingkungan lembab. Patogenesis amebiasis invatif dapat dibagi dalam 4 langkah adalah (1) kolonisasi intestin oleh tropozoit, (2) perusakan barier mukosa dengan perlekatan pada sel epitel kolon, (3) lisis sel epitel bs dan (4) resistensi terhadap mekanisme pertahanan humoral dan selular tuan rumah dengan invasi dalam jaringan. Kunci diagnosis laboratorium amebiasis kolon yakni pengamatan kotoran yang konkret pada l.k. 90% kolitis amebik invasif dengan banyak sekali teknis serologis spesifik untuk amoeba.
Penyebaran lewat aliran darah mungkin terjadi dan menyebabkan bengkak hati serta lebih jarang paru-paru dan otak. Pada umumnya prevalensi lebih tinggi pada daerah dengan sanitasi jelek, institusi mental dan laki-laki homoseksual. Epidemi terjadi terutama balasan masuknya kista lewat air yang terkontaminasi sedangkan penyebaran endemik terjadi melalui transfer tangan ke ekspresi, sayuran terkontaminasi dan lalat. Terapi obat yang mencukupi mesti memperhitungkan distribusi obat dan kawasan aktivitas amebisida, contohnya antibiotika biasanya cuma aktif untuk kolon dan tidak untuk hati. Obat yang aktif dalam semua jaringan a.l. paromomisin, diloksanidfuroat, bismut iodida dan diiodohidroksikuinolin. Pencegahan bergantung pada gangguan penularan fekal-oral dengan perbaikan higiene, sanitasi, pengolahan air, menghindari kontak oro-anal-genital dan isolasi masalah.
Organisme dari genus Cryptosporidium mampu menimbulkan abses oportunistik pada perkara gangguan imunologis. Biasanya terdapat pada akses pencernaan, pernapasan dan empedu.
Spesies mammalia utama yang menjadikan diare yakni C. parvum dan yang kedua C. muris. Pada perkara AIDS tanda-tanda mampu sungguh berat. Infeksi dimulai bila tuan rumah kebetulan makan oocyst dan manifestasi klinis bergantung pada status imun dengan masa inkubasi antara 3-14 hari. Cara penularan bisa dari hewan terhadap manusia, lewat air, dari orang ke orang. Diagnosis dengan teknik pewarnaan oocyst. Terapi primer semua bentuk diare termasuk oleh Cryptospooridium sp. adalah penggantian cairan dan elektrolit.
EKTOPARASIT
Ektoparasit jarang menimbulkan abses kanal kelamin, namun ditularkan dari orang ke orang lewat korelasi dekat, khususnya korelasi seksual.
Pedikulosis pubis
Ordo Anaplura meliputi lebih dari 400 spesies kutu penghisap yang merupakan ektoparasit mammalia dan dari tiga spesies kutu pada insan yakni Phtirius pubis (kutu pubis), Pediculus humanis capitis (kutu kepala) dan P. humanus humanus (kutu tubuh) spesies yang sering ditularkan lewat korelasi seksual ialah kutu pubis atau crabs. Kutu mempunyai 5 tahap kehidupan yang seluruhnya terjadi pada tuan rumah ialah telur, tiga tahap nymphal dan tahap akil balig cukup akal. Penularan dari orang ke orang terutama melalui hubungan intim. Kutu pubis tidak menyebar secepat kutu manusia lain di luar tuan rumah sebab jangka hidupnya lebih singkat (24 jam dibandingkan beberapa hari untuk lainnya), penularan seksual lebih dominan. Populasi dengan insiden tertinggi kutu pubis sama dengan gonore dan sifilis adalah bujangan antara 15-25 tahun.
Kepekaan terhadap efek gigitan kutu bervariasi antar individu. Bila baru pertama kali mungkin butuh 5 hari sebelum tanda-tanda sensitisasi alergis terjadi dan gejala yang utama yakni gatal, luka eritema, iritasi dan inflamasi. Diagnosis infestasi kutu dilaksanakan dengan (1) sejarah terinci dari penderita, (2) kemungkinan infestasi kutu dan pendapattanda dan gejala penderita serta (3) observasi teliti penderita. Baik kutu sampaumur maupun telurnya gampang dilihat dengan mata telanjang.
Penatalaksanaan dan disinfeksi mesti diindividulisasi. Idealnya dipakai pedikulosida yang efektif membunuh baik kutu akil balig cukup akal maupun telurnya, untuk itu umumnya diperlukan waktu kontak sekurang-kurangnya1 jam. Juga kontak di rumah lainnya mesti diamati sehingga baik sumber maupun penyebarannya mampu diobati. Obat bebas yang paling efektif mengandung piretrin dan piperonibutoksida, sedangkan obatetikal yang banyak dipakai adalah y benzenheksaklorida 1 % di samping sulfur petrolatum 6%, tiabendazol 5-10%, DDT dan malathion. Yang paling gres adalah primetrin yang secara kimia mirip piretrin tetapi bersifat termo dan fotostabil, imbas toksis rendah serta spektrum kegiatan insektisida lebar. Semua pedikulosida mengusik fungsi ganglion saraf kutu hingga menyebabkan paralisa pernapasan dan akhir hayat. Kadang-kadang gatal yang merupakan tanda-tanda penting semua infestasi kutu tidak hilang dengan pedikulosida alasannya faktor reaksi alergi dan / atau iritasi sehingga diharapkan antipruritus / antiinflamasi. Pakaian mesti dicuci dengan air panas atau dry cleaning dan yang tidak bisa dicuci harus diberi disinfektan.
Scabies
Sesungguhnya scabies telah diketahui ialah penyakit balasan gigitan kutu Sarcoptes scabiei sejak tahun 1687 yang lazimnya berkumpul pada tangan dan pergelangan. Kutu betina menggali stratum korneum dan bertelur 2-3 butir tiap hari yang lalu tumbuh menjadi sampaumur dalam 10-14 hari. Tahap selanjutnya lazimdiikuti papula dengan rasa gatal. Epidemi berjalan dalam siklus 30 tahunan dengan selang 15 tahun antara suatu akhir epidemi dan timbulnya yang gres yang umumnya berjalan selama 15 tahun juga.
Penyebabnya multifaktorial antara lain kemiskinan, higina jelek, pelacuran, misdiagnosis, faktor demografi dan ekologi. Dalam hal ini faktor imunologi penting. Kenaikan insiden scabies sejak tahun 1960-an sedikit banyak sejalan dengan gonore dan lebih banyak pada pria mirip PHS yang lain serta usia antara 20-30 tahun sehingga dari sudut epidemiologi dapat dikelompokkan dalam PHS.
Karakteristik penderita dengan infestasi scabies ialah cermin populasi kebanyakan dan penularan biasanya melalui kekerabatan erat personal. Masa inkubasi yang panjang, utamanya jika pertama kali (6 minggu), mengakibatkan penelusuran sumber sukar. Pada periode aktif seksual, penularan lewat korelasi seksual bisa terjadi. Scabies juga ialah salah satu penyakit dari berbagai PHS yang juga mungkin ditularkan dalam rumah tangga terhadap tiap individu dari segala usia. Makin besar muatan benalu pada individu, semakin tinggi kemungkinan penularan.
Gejala gatal khas scabies yaitu malam hari atau sehabis mandi air panas, lesi nyaris simetris dan tangan biasanya yang pertama kali terkena (khususnya di sela jari). Lesi tampak sebagai papula atau vesikel yang mengandung kutu dan telurnya serta sungguh mencolokpada pangkal jari, permukaan anterior pinggang dan siku serta lipatan paha dan kelamin eksternal pada pria; sedangkan pada wanita pada puting susu, perut dan bab bawah pantat. Penularan alasannya kontak langsung kulit, lewat pakaian atau melalui relasi seksual yang kerap kali berbarengan dengan gonore, sifilis, pedikulosis pubis. Scabies atypi terjadi pada infeksi HIV dan ialah salah satu infeksi oportunistik. Komplikasi bengkak kuman sekunder mungkin muncul (lazimnya alasannya digaruk), misalnya kolonisasi strain streptokokus nefritogenik pada lesi scabies yang menyebabkan glomerulonefritis, terutama di tempat tropis. Diagnosis diferensial mencakup nyaris semua dermatosis pruritik dengan teknik lab untuk studi mikroskopik.
Pilihan obat scabisida mesti memperhitungkan efektivitas dan toksisitas, pada awalnya khususnya dengan sulfur dan condong mulai ke scabisida terbaru sebab segi kosmetika sulfur kurang baik. Penatalaksanaan juga harus melibatkan orang-orang yang bekerjasama dekat atau pasangan seksual. 24 jam sehabis terapi yang efektif penderita tidak dapat menularkan lagi terhadap orang lain, tetapi tanda-tanda mungkin masih ada hingga beberapa ahad. Scabisida yang biasa digunakan serentak dengan scabisida seperti antihistamin atau salisilat dan untuk sisa pruritus setelah terapi scabisida mampu digunakan hidrokortison pada orang dewasa dan emolien pada bayi / anak. Diagnosis dini dan penatalaksanaan dengan scabisida yang efektif untuk penderita dan kontak seksual / rumah tangga ialah kunci pencegahan.
TERAPI OBAT
C. albicans : pada vagina dipakai klotrimazol 100 mg atau mikonazol 100 mg per vagina selama 7 hari atau nistatin 100.000-1.000.000 IU selama 7 hari. Untuk bengkak kambuhan ketokonazol 200 mg po tiap hari selama 5 hari, sedangkan untuk balanopostitis digunakan imidazol topikal 2 dd selama 7 hari.
T. vaginalis : metronidazol 2 g po dosis tunggal, alternatif 250 mg po 3dd selama 7 hari. Untuk wanita hamil dalam trimester I dipakai kotrimoksazol 100 mg per vagina sebelum tidur selama 7 hari, jikalau menyusui tetap dengan takaran tunggal namun kemudian dihentikan menyusui selama 24 jam. Untuk bayi digunakan metronidazol 20 mg/kg bb/hari selama 5 hari.
S. scabiei : untuk usia lebih besar dari 10 tahun dipakai lindan 1% selama 8 jam atau benzilbenzoat 25% selama 2 malam atau krotamiton 10% atau belerang 6%, sedangkan untuk usia lebih kecil dari 10 tahun atau wanita hamil/menyusui cuma boleh dipakai krotamiton 10% atau belerang 6%.
P. pubis : dipakai lindan 1% topikal selama 8 jam atau piretrin dan piperonil butoksida secara topikal selama 10 menit.
KESIMPULAN
Infeksi jamur merupakan abses utama dari jerawat vagina dan umumnya disebabkan oleh C. albicans dengan gejala khas meningkat sepekan sebelum dan sedikit berkurang dengan mulainya menstruasi, sedangkan pada trikomonisias lingkungan vagina menghipnotis patogenesis trikomonas dan bervariasi dari waktu ke waktu pada orang yang usang.
Terapi primer semua bentuk diare akhir protozoa patogen enterik yang juga mampu ditularkan melalui relasi seksual oro-anal yaitu penggantian cairan dan elektrolit. Sedangkan pada ektoparasit yang sering kali ditularkan dari orang ke orang melalui hubungan bersahabat, utamanya korelasi seksual, penatalaksanaan dan disinfeksi harus diindividualisasi dengan memperhitungkan efektivitas dan toksisitas.
Post a Comment for "Penyakit Seksual Akhir Jamur, Protozoa Dan Parasit"